A. Pengertian Dan Sumber‑Sumber Fikih
Sebagaimana yang telah disepakati para ulama bahwa segala ucapan dan perbuatan yang timbul dari manusia, baik berupa ibadah, mu'amalah, pidana, perdata atau berbagai perjanjian mempunyai hukum di dalam syari'at Islam. Sebahagian disebutkan dengan jelas dalam nash yang ada di dalam Alquran dan Sunnah, sedangkan yang lain belum dijelaskan secara konkrit dalam nash Alquran dan Sunnah. Pada hal‑hal yang belum dijelaskan secara konkrit dalam nash dilakukan penggalian hukum, hasil dari upaya tersebut diistilahkan oleh para ularna dengan fiqih.
1. Pengertian Fiqih
Istilah fikih yang berkembang di tengah‑tengah masyarakat mempunyai hubungan erat dengan syari’at dan hukum Islam. Hubungan itu muncul disebabkan oleh adanya perkembangan bahasan dari disiplin ilmu yang berkaitan dengan penggalian hukum Islam. Masing‑masing istilah di atas dapat ditemukan di dalam Alquran kecuali istilah hukum Islam, baik kata hukum Islam maupun akar kata itu sendiri.
Walaupun tidak secara tegas disebutkan kata syari'ah dan fiqih di dalam Alquran, namun dari akar kata yang digunakan antara istilah tersebut di atas mempunyai hubungan satu dan lainnya. Dalam hal ini penulis sedikit menguraikan pemahaman ketiga istilah tersebut dan hubungan antara ketiganya dengan memaparkan kata syari'ah terlebih dahulu.
Secara etimologi; syari'ah berasal dari akar kata bahasa Arab yaitu syara'a( ) yang berarti menjalankan dan mengaplikasikan. Sedangkan kata syari'ah dalam kamus Al Munjid mempunyai makna j alan menuju mata air.[1]
Jalan menuju mata air, di tengah kalangan bangsa Arab mempunyai arti yang sangat penting. Mata Air bagi mereka adalah sesuatu yang sangat vital. Sulitnya sumber mata air mengharuskan bangsa Arab yang tinggal di daerah padang pasir yang tandus selalu mengingat dengan baik jalan yang akan menghantarkan mereka menuju mata air. Mengabaikan jalan menuju sumber mata air akan mengakibatkan kesulitan untuk mendapatkan air sebagai kebutuhan utama [2]. Hal ini dapat dianalogikan kepada pentingnya syari'at bagi manusia, seperti pentingnya jalan menuju mata air bagi orang‑orang arab.
Kata syari'at di dalam Alquran diartikan sebagai suatu jalan yang lurus,. sebagaimana firman Allah SWT. :
... Kemudian kami jadikan kamu berada di alas sualu syari’ah (jalan yang lurus) dari urusan (agama)itu, maka ikutilah syariah itu .... (QS. AI Jatsiyah: 18)
Di dalam surat Al Maidah ayat 48 disebutkan bahwa akar kata, syari'ah itu dapat diartikan dengan aturan dan jalan yang terang sebagaimana berikut :
.... Dan kami berikan aturan dan jalan yang terang untuk setiap umat
diantara kamu.... (QS. AI Maidali: 48).
Menurut ulama fikih, syari’ah difahami sebagai suatu ketetapan normanorma hukum yang mengatur keselarasan kehidupan antara sesama manusia dan hubungannya dengan tuhan[3].
Keselarasan kebidupan antara sesama manusia dan hubungan kepada Tuhan memerlukan suatu rangkaian norma‑norma dan batasan‑batasan. Normanorma yang diletakkan itu disampaikan melalui dalam Alquran secara sempurna untuk kemaslahatan manusia. Norma‑norma tersebut terangkai dalam bentuk larangan, perintah dan anjuran meliputi seluruh aspek kehidupan agar manusia beriman dan beramal shaleh. Karena dengan keimanan yang dibarengi dengan kreeativitas amal shaleh itu dapat memberikan kebahagiaan di dunia dan akhirat[4].
Sedangkan cakupan yang terkandung dalam kajian syari'ah, Manna' Qathan sebagaimana yang dikutip oleh Dede Rosyada mencakup aspek akidah, akhlaq, ibadah dan mu'amalah. Pemahan ini dillhami oleh keinginan untuk membedakan tatanan aturan yang bersumber dari Tuhan lansung melalui syari'ah, dengan perundang‑undangan hasil pemikiran manusia semata.[5]
Dalam. “Pertumbuhani Dan Perkembangan Hukum Fiqih, Muhammad All As‑ Saayis berpendapat bahwa syari'ah itu mencakup makna dalam tiga dimensi. Dimensi pertama mempunyai posisi yang sangat fundamen karena meliputi seluruh dimensi yang ada, yaitu dimensi akidah. Dimensi ini mencakup hukum‑hukum yang berhubungan dengan nilai‑nilai transedental dan keyakinan.
Dimensi kedua adalah dimensi moral yang mengkaji secara khusus nilainilai etis individu dan sosial serta, etika yang harus dijunjung dalam. interaksi vertikal. Dimensi ini memiliki sudut kesamaan dengan kajian mu'amalah.
Sedangkan dimensi ketiga adalah dimensi hukum, meliputi tindakantindakan yang secara zahir dilakukan untuk memberi pengaruh pada individu dan masyarakat, seperti Mu'amalah dan lbadah yang bersifat mahdhah (semata) beserta hukuman‑hukuman langsung yang dikenakan bagi pelanggar hukum tersebut diatas. Maksudnya adalah dalil‑dalil yang terdapat dalam. nash (teks hukum) baik Alqur'an maupun Hadits yang khusus membahas hukum‑hukum praktis.
Dari beberapa pemahaman yang menjelaskan pengertian syari'ah beserta cakupannya di atas [6], dapat difahami bahwa syari'ah itu suatu norma dan aturan yang ditetapkan kepada seluruh manusia agar dapat meraih kebahagiaan pada kehidupan dunia dan kehidupan akhirat dengan menjaga keteraturan hubungan sesama manusia dan keterikatan dengan nilai‑nilal trasendental (ketuhanan) mencakup seluruh aspek kehidupan manusia.
Kemudian tentang kata‑kata fiqih secara. etimologi terdapat di dalam Alquran surat at‑Taubah ayat 122 sebagaiman berikut
Mengapa tidak pergi dari setiap golongan di antara mereka beberapa orang unluk memahami secara mendalam pada urusan agama dan untuk memberi peringalan kepada kauinnya apabila mereka telah kembali kepadunya, supaya mereka ilu menjaga dirinya. (QS.at‑Taubah: 122).
Memahami secara mendalam tentang urusan agama sebagaimana yang disebutkan dalam ayat di atas adalah sebuah proses pemahaman untuk menemukan hukum dari nash‑nash syar'i agar apa yang dikehendaki oleh syari'ah itu sendiri dapat dijabarkan secara konkrit dan jelas.
Abdul Wahab Khalaf dalam limu Ushul al‑Fiqh merinci fiqih itu dalam sebuah definisi sebagal berikut:
Ilmu yang membicarakan tentang hukum‑hukum syari'ah yang bersifat praktis, diambil dan digali dari dalil‑dalil yang terperinci, atau kumpulan hukum‑hukum.syar'i diambil dari dalil‑dalil yang terperinci.[7]
Muhammad Abu Zahrah dengan redaksi yang hampir sama mendefinisikan fikih itu sebagai ilmu tentang tata hukum syar'i yang bersifat praktis [8].
Amir Syarifuddin menyepakati kedua pendapat diatas dengan mendifinisikan fikih sesuai dengan mendifinisikan bahwa fikih adalah suatu ilmu yang mengandung hukum syara', bersifat amaliyah, digali dan ditemukan melalui dalil‑dalil syar'l yang tafshili (terperinci)[9].
Lebih jauh beliau menguraikan setiap kata yang terdapat dalam definisi fiqih itu, sehingga dengan uraian setiap kata tersebut memberikan cakupan dan batasan‑batasan yang ada dalarn fiqih. Definsi‑defini diatas memberikan garnbaran bahwa fiqih adalah suatu hasil dari proses penggalian dan pendalaiaan dari nash‑nash syar'i tentang perilaku dan tindakan manusia dengan demikian hal‑hal yang bersifat akidah dan keyakinan tidak dibahas dalam fiqih.
Kemudian jlka kita merujuk kernbali pada definsi yang disebutkan di atas, terlihat bahwa fiqih itu dikatakan dengan kata‑kata ilmu. Apabila definisi flqih diatas kita hubungkan dengan ilmu, sebenarnya tidak dapat disamakan. Ilmu bersifat qath'i, sedangkan fiqh bersifat zhanni [relatif kebenarannya] karena proses penemuannya dilakukan oleh, manusia dengan segala keterbatasannya untuk menjangkau lebih dari apa yang dimilikinya tentang asumsi kehendak Tuhan.
Namun kezhannian yang dikandung fiqih ini bersifat qawiyah karena melihat proses penggaliannya dilakukan dengan seluruh upaya maksimal dengan penalaran serta istidial yang kuat.
Proses penggalian itu dilakukan oleh seorang mujtahid dengan menggunakan metode‑metode tertentu untuk menemukan asumsi yang mendekati kepada apa yang dikehendaki tentang perbuatan dan tindakan mukallaf [yang telah memiliki kecakapan hukum].[10]Maka fiqih itu dapat dikatakan sebagai ilmu karena mendekati kepada kebenaran. Bila kita hubungkan antara kedua istilah diatas [syari'ah dan fiqih] maka terlihat hubungan yang sangat erat. Syad'ah sebagai tata norma yang mengatur segala aspek kehidupan manusia baik akidah, lbadah maupun mu'amalah. Sedangkan fiqih adalah hasil pemahaman tentang aspek‑aspek kehidupan yang bersifat' amaliyah dari sumber‑sumber syari'ah (Alqur'an dan Hadits).
Di samping fikih sejarah telah memunculkan istilah hukum Islam yang merupakan perpindahan bahasa dari istilah Islamic Law, diambil dari literatur barat. karena tidak satupun dijumpai di dalam literatur Islam. yang biasa digunakan adalah syari'at Islam, hukum Syara' fikih dan syari'at ataupun syara'. Perkembangan hukum Islam yang melibatkan pengaruh luar mendapat kesulitan untuk mendekatkan pada pemahaman yang sebenarnya.
Secara umum hukum adalah suatu perangkat norma‑norma ataupun aturan‑aturan yang mengikat prilaku suatu masyarakat tertentu dan disepakati secara menyeluruh untuk ditaati dan dijalankan. Apabila dihubungkan dengan Islam, maka hukum Islam secara sederhana dapat difahami sebagai suatu perangkat nilai atau norma‑norma berdasarkan wahyu Allah (Alquran) dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia yang tergolong mukallaf (cakap hukum), diakui dan diyakini, mengikat dan berlaku untuk semua yang beragama Islam. Melihat dari pemahaman diatas maka istilah hukum Islam juga dapat dipakai untuk istilah syari'ah karena cakupan syari'ah menyeluruh pada aspek kehidupan manusia dan sebahagian masyarakat juga mengistilahkan hukum Islam kepada ilmu fiqih.
Dari keseluruhan definisi di atas, penulis memahami bahwa fiqih merupakan suatu hasil pemahaman tentang hukum‑hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dari sebuah proses upaya penggalian dan penemuan hukum secara maksimal oleh para mujtahid melalui nash‑nash syar'i yang terperinci
Pemahaman dari nash‑nash syari'i itu merupakan sebuah upaya untuk menemukan kehendak Tuhan baik perintah, larangan ataupun Ikhtiyar seseorang yang dijadikan sebagai landasan dalam beramal. Sehingga hal. itu menjadi sebuah
bangunan hukum Islam.
2. Sumber‑Sumber Fifqih
Sebelum membahas sumber‑sumber yang diambil sebagai rujukan proses pengambilan hukum, akan dijelaskan secara singkat tentang pemahaman sumber itu. Karena kata sumber oleh sebahagian ulama fiqih disebut juga sebagai dalil.
Kata sumber berasal dari bahasa arab ( ) dengan bentuk kata majemuknya ( ) yang diartikan sebagai suatu wadah tempat ditemukan dan darinya ditimba norma hukum. Istilah ini dijadikan sebahagian ulama pengganti dari kata ( )sedangkan golongan lainnya tetap meletakkan masing‑masing kata al‑Adillah al‑Syar'iyah dan alMashadir al‑Syar'iyyah secara proposional. AI‑Adillah al‑Syar'iyah sebagai segala sesuatu yang menunjukkan dan membawa seorang mujtahid kepada hukum (mencakup segala sumber beserta metodenya) sedangkan al‑Mashadir alSyari'iyah adalah wadah pengambilan hukurn (mencakup Alquran dan Hadits). Terlepas dari perbedaan tersebut, dalam hal ini akan diuraikan secara singkat sumber dan dalil‑dalil yang dijadikan sebagai rujukan dalam penemuan hukum oleh para mujtahid
Alquran,[11] dalarn definisi Abdul Wahab Khalaf adalah:
'Kalam Allah yang diturunkan melalui perantaraan malaikat Jibril ke dalam hati Rasulullah Muhammad bin 'Abdullah dengan lafaz yang berbahasa Arab dengan makna‑maknanya yang benar untuk menjadi hujjah bagi Rasul atas pengakuannya sebagai Rasulullah, menjadi undang‑undang bagi manusia yang mengikuti petunjuknya dan menjadi qurbah di mana mereka beribadah dengan membacanya.
Para ulama menyepakati bahwa Alquran merupakan sumber utama hukum Islam yang diturunkan Allah dan wajib diamalkan. Seorang mujtahid tidak dibenarkan menjadikan dalil lain sebagai hujjah sebelum. merujuk pada Alquran dan menelitinya. Apabila tidak ditemukan ketentuannya dalam Alquran, maka barulah seorang mujtahid menggunakan dalil lain.
Alquran yang diturunkan kepada Rasulullah saw. diketahui secara mutawatir benar‑benar datang dari Allah SWT. dan dengan kemujizatan yang dikandungnya dijadikan sebagai alasan para ulama ushul fikih untuk mewajibkan berhujjah dengan Alquran.[13]
Di dalam Alquran banyak ayat yang menyebutkan tentang kehujjahan dan kebenarannya dari Allah, dalam surat Ali Imran ayat 3 Allah berfirman:
Dia menurunkan al‑Kilab (Alquran) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan injil (QS. Ali Imran: 3)
Surat al‑Nahl ayat 89:
Dan Kami turunkan kepadamu Alquran untuk menjelaskan segala sesualu dan petutyuk serfa rahmat dan kabar gembira orang‑orang yang berserah diri. (QS. An‑Nahl: 89).
Dalil selanjutnya adalah Sunnah. Menurut ulama fiqh dan ushul fiqih Sunnah adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi saw. Berupa perbuatan, perkataan dan ketetapan yang berhubungan dengan hukum, "apabila dilaksanakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa.'.,[14]
Dari pemahaman sunnah di atas terlihat tiga dimensi yang terkandung dalam Sunnah, yaitu Sunnah fi‘liyah mencakup perbuatan‑perbuatan Rasulullah saw. seperti bagaimana Rasul melakukan Shalat dan manasik haji beserta rukun‑rukunnya. Sunnah Qauliyah adalah perkataan‑perkataan Rasul tentang suatu tanggapan atau jawaban Rasulullah terhadap kondisi umat saat itu. Dimensi ketiga adalah Sunnah Taqririyyah mencakup apa yang dilakukan sahabat, diakui oleh Rasulullah saw. baik berupa ucapan maupun perbuatan. Pengakuan tersebut adakalanya dengan sikap diam dan tidak adanya keingkaran beliau.
Tentang kehujjahan Sunnah, para ulama menyepakati bahwa Sunnah merupakan sumber kedua setelah Alquran. Apa yang dikeluarkan oleh Rasulullah dimaksudkan untuk membentuk hukum‑hukum Islam dengan merinci dan menjelaskan apa yang belum dijelaskan dalam Alquran secara jelas. Sunnah melengkapi penjelasan apa yang ada dalam Alquran, balikan keduanya merupakan rangkaian hukum yang tidak dapat dipisahkan. Apa yang disebutkan dalam Alquran tidak mungkin dapat difahami secara sempurna tanpa melihat Sunnah.[15]
Kedua sumber diatas disepakati oleh seluruh ulama fiqih tanpa ada yang meragukan kehujjahannya sebagai sumber sekaligus dalil hukum Islam. Akan tetapi pada Sunnah terkualifikasi ke dalam Mutawatir dan non‑mutawatir. Pada kondisi ini Ulama hanya menyepakati sunnah pada tingkat Mutawatir, sedangkan pada sunnah non‑mutawatir teriadi perbedaan pendapat tentang kehujjahannya.
Sebahagian ulama mengambil hadits‑hadits yang tergolong nonmutawatir, sedangkan yang lain menolaknya.
ljma[16] , adalah dalil hukum ketiga setelah Alquran dan Sunnah. Apabila dari kedua sumber di atas tidak ditemukan secara jelas, maka untuk menemukan hukum dapat merujuk kepada ijma' para mujtahid. Jumhur ulama ushul fiqih sepakat untuk menerima ijma' sebagai salah satu dalil hukum, akan tetapi diharuskan melalui syarat‑syarat tertentu. Diantaranya adalah mereka yang memenuhi persyaratan ijtihad, bersifat adil (berpendirian kuat terhadap agamanya) dan menghindari diri dan ucapan atau perbuatan bid'ah. [17]
Qiyas, Para ulama ushul mendefinisikan qiyas itu dengan:
“Menyatukan sesuatu peristiwa (hukum) yang tidak disebutkan hukunnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash untuk menyamakan atau menganalogikan keduanya melalui kesatuan illat hukum "
Menurut Abu Hamid Al Ghazali sebagaimana yang dikutip oleh Nashrun Harun adalah membawa (hukum) yang (belum)dijelaskan secara rinci kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya disebabkan sesuatu yang menyatukan keduanya, baik hukum maupun sifat.[19]
Apabila dalam kondisi tertentu muncul kasus baru yang belum terjadi pada masa sebelumnya, begitu juga tidak ditemukan secara jelas di dalam nash hukumnya, akan tetapi pada peristiwa yang lalu mempunyai hubungan dengan kasus baru tersebut, maka menurut definisi di atas dapat dilakukan penetapan hukum kasus yang baru dengan melihat 'illatnya [sifat yang dapat menghubungkan kasus lama dan yang baru]. Dari pemahaman qiyas diatas mempunyai empat rukun yang wajib dipenuhi, yaitu kasus lama, hukum pada kasus lama, kasus yang baru dan 'illat.
Sumber dan dalil‑dalil diatas disepakati oleh jumhur ulama sebagai referensi hukum pada peristiwa‑peristiwa yang terjadi di tengah umut Islam. Mereka tidak memperselisihkan keempat sumber tersebut diatas.
Di samping keempat sumber dan dalil‑dalil di atas terdapat dalil‑dalil lain yang digunakan para ulama dalam menemukan hukum syar'i. Yaitu Istihsan, maslahah mursalah, istishhab, 'Urf, Mazhab shahabi, syar’at kaum sebelum Islam, dan Saddu al‑Dzari'ah. Sebabagian ulama menerima dalil‑dalil diatas untuk dijadikan rujukan hukum sedangkan sebahagian lain menolak, akan tetapi secara keseluruhan, dalil‑dalil tersebut dipakai dalam penggalian hukum Islam.
Dari sumber‑sumber dan dalil‑dalil yang diperselisihkan itulah memunculkan mazhab‑mazhab fikih yang akan diuraikan kemudian.
B. Kemunculan Mazhab Fikih Dan Perkembangannya
Perkembangan komunitas muslim menunjukkan peningkatan kuantitas sejak zaman Rasulullah SAW sampai sekarang. Perkembangan tersebut memungkinkan adanya perubahan kecendrungan masyarakat terhadap kehidupan sosialnya. Sehingga permasalahan‑permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat semakin kompleks dan rumit.
Tata hukum yang telah ada pada zaman Rasulullah terkadang belum menjawab permasalahan yang timbul dikemudian hari secara langsung, maka pada keadaan dan kondisi tersebut diperlukan aturan yang akan menyelesaikan permasalahan‑permasalahan tersebut.
Al‑qur'an dan Sunnah sebagai sumber hukum utama telah memberikan aturan terhadap persoalan‑persoalan sebagai jawaban atas peristiwa‑peristiwa yang muncul dalam. kehidupan umat Islam. Akan tetapi Al‑qur'an dan Sunnah itu belum menjangkau keseluruhan peristiwa yang terjadi di tengah masyarakat secara tegas.
Walaupun demikian kita tidak dapat mengatakan bahwa suatu peristiwa saat ini yang terjadi tidak ada hukumnya dalam kandungan Al‑qur'an dan Sunnah atau bebas hukum. Pada prinsipsinya Allah telah menurunkan secara paripurna perangkat hukum dalam teks nash (Al‑qur'an dan Sunnah) dan tidak ada satupun peristiwa saat ini yang luput dari nash. Allah berfirman dalam, Al-qur'an:
Hari ini telah kusempurnakan untukmu agamamu dan telah kusempurnakan seluruh nikinatku serta aku ridhai untukmu Islam. (QS.
AI‑Maidah: 3)
Ayat di atas mengandung penjelasan kesempurnaan norma hukum (syari'ah) yang telah diturunkan Allah SWT kepada sekalian manusia, maka semua kejadian yang ada di dunia ini sudah mempunyai ketetapan hukum. Namun norma hukum itu terkadang mempunyai redaksi yang tegas dan jelas di dalam ayat, sedangkan yang lain memerlukan pemahaman yang dalam dengan melakukan metode‑metode khusus.
Hukum Allah itu dapat ditemukan dalam tiga hal. Pertama bahwa hukum Allah itu dapat ditemukan secara jelas dari nash Alquran.[20] Kedua, hukum yang tidak dapat ditemukan secara harfiah, akan tetapi secara instrinsik lafaz tersebut memiliki petunjuk kepada penyimpulan hukum. Ketiga, adalah hukum yang tidak dapat ditemukan secara harfiah dan tidak pula dari isyarat suatu lafaz [21].
Melewati masa perkembangan kuantitas dan teritorial komunitas muslim, proses penemuan hukum pada bentuk kedua dan ketiga memerlukan berbagai perbedaan baik dari sisi metode sampai pada hasil istinbath hukum. Proses ini dilakukan untuk menjawab peristiwa‑peristiwa yang tidak terjadi di zarnan Rasul.
Hukum yang ditetapkan para mujtahid setelah masa Rasul itu oleh beberapa pengikutnya dijadikan rujukan. Antara satu Iman. mujtahid dengan lainnya mempunyai sudut pandang hukum yang berbeda, sehingga pengikut-pengikutnya membentuk pola‑pola khusus dalam memahami konteks ayat ataupun menjawab peristiwa‑peristiwa yang timbul di kemudian hari. Bahkan selanjutnya para pengikut Imam. mujtahid bertambah banyak tersebar di berbagai daerah dan secara alamiyah terlembaga dalam satu sandaran hulkum, hal inilah salah satu penyebab munculnya mazhab fikih Islam.
Mazhab secara etimologi berasal dari pecahan kata ( ) berjalan, pergi, berpendapat. Maka mazhab adalah tempat berjalan, tempat pergi (tujuan) dan tempat berpendapat yang diyakini[22].
Secara termonologi, M.Hasballah Thaib berpendapat bahwa mazhab itu ialah faham. atau afiran pemikiran yang merupakan hasil kajian seseorang mujtahid tentang hukum dalam Islam. digali dari ayat atau hadits yang dapat diijtihadkan. [23]
Muhammad Ali Hasan dalam. Perbandingan Mazhab Fikih berpendapat bahwa mazhab adalah hasil ijtihad seorang Imam, (Mujtahid Mutlak) tentang hukum suatu masalah atau tentang kaidah‑kaidah istinbath.[24]
Mazhab dari kedua pendapat diatas khusus pada bidang fikih, karena kata mazhab dapat digunakan juga pada lapangan selain fikih. Maka dan itu menurut kedua pendapat diketahui bahwa mazhab berada dalam lingkungan ijtihad.
Munculnya mazhab fikih bersumber dari perbedaan hasil ijtihad para Imam mujtahid. Periodesasi fikih mencatat bahwa keragaman pola dan sudut pandang serta latar belakang lingkungan masing‑masing ulama mempengaruhi hasil. ijtihad para imam. mujtahid.
Pada masa permulaan Islam tidak terjadi perbedaan pendapat dalam memberikan keputusan hukum terhadap suatu peristiwa, sebab standar perundang‑ undangan masih satu, yaitu Alquran yang langsung disampaikan Rasulullah sendiri. Permasalahan‑permasalahan yang muncul pada masa Rasulullah dapat terselesaikan ketika ditanyakan langsung kepadanya. Akan tetapi pada masa sahabat, mulai timbul perbedaan pemahaman.
Perbedaan pendapat ini menurut Abdul Wahab Khalaf terjadi sebab cara memahami maksud masing‑masing nash berbeda‑beda akibat perbedaan tingkat kecerdasan dan segi‑segi tujuannya. Terkadang sebahagian dari mereka berpegang kepada Sunnah dan yang lain tidak mengambilnya disebabkan kepentingankepentingan yang harus dikeluarkan akibat perbedaan lingkungan. Namun perbedaan tersebut terjadi hanya dalam, masalah furu'lyah bukan pada prinsip.[25]
Pada periode selanjutnya daerah Islam yang makin meluas dengan berbagai macam bangsa yang masuk Islam dan membawa berbagai macam adat istiadat memunculkan persoalan hukum yang beragam. Semakin meluasnya daerah Islam dari pusat khilafah dan pergaulan juga menjadi sebab dari kemunculan mazhab fikih[26]. Untuk mengatasinya para ulama yang menyebar di berbagai daerah melakukan ijtihad. Bahkan pada masa Rasulullah, beliau memberi persetujuan untuk melakukan ijtihad kepada Mu'az bin. Jabal di Yaman apabila tidak dijelaskan secara tegas oleh Alquran dan Sunnah. Persetujuan ini dijadikan sebagai landasan hukum untuk melakukan ijtihad [27]
Hasballah menambahkan bahwa perbedaan menilai otentitas sebuah Hadits, memahami nash yang dzanni, perbedaan dalam menggunakan kaedah ushul dan beberapa istinbath yang sah juga menjadi sebab perbedaan ketetapan hukum yang dikeluarkan oleh para Imam Mujtaffid.[28]
Sejarah perkembangan fikih telah melahirkan Imam‑imam mujtahid yang menemukan ketentuan hukum atas persoalan‑persoalan yang belum terjawab pada masa Rasul. Diantara imam mujtahid yang termashur dan banyak diikuti oleh masyarakat muslim adalah Abu Hanifah al‑Nu'man ibn Tsabit, Malik bin Anas AI‑Ashbahi, Muhammad bin Idris Asy‑Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal. Kemudian mazhab yang muncul dari keempat imam itu dinisbatkan dengan nama masing‑masing imam yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Mazhab Hanbali.
Selain keempat mazhab diatas, masih banyak mazhab fikih lain yang pernah berkembang, namun mazhab‑mazhab tersebut tidak banyak diikuti bahkan sebahagian telah hilang kecuali mazhab syafi'i dan mazhab zhahiri. Masing‑masing imam mazhab diatas mempunyai latar belakang yang berbeda baik kondisi tempat hidupnya maupun kecendrungan masing‑masing imam.
Abu Hanifah al‑Nu'man bin Tsabit yang lahir dan besar di Kufah dipengaruhi oleh kultur masyarakat persia. Jarak yang jauh dari kota hadits (Madinah) mengakibatkan perbedaan cara penetapan hukum. Imam Abu Hanifah lebih dominan menggunakan al‑Ra’yu, analogi hukum dan istihsan. Beliau tidak banyak menggunakan hadits sebagai landasan hukum, karena Abu Hani‑fah sangat berhati‑hati dalam menyeleksi riwayat suatu hadits, Ia hanya mengambil hadits yang betul‑betul ia yakini keshahihannya. Walaupun. demikian. ia tidak bersikap fanatik terhadap pendapatnya, karena ia tetap menerima pendapat lain yang lebih benar dan kuat.
Mazhab Hanafi pernah menjadi rujukan hukum resmi di Kerajaan Usmani dan Bani Abbasiyah di Irak. Sekarang penganut maszhab Hanafi banyak diikuti oleh masyarakat muslim yang berdomisili di Turki, Suriah, Afganistan, Turkistan, India, Lebanon dan Mesir.[29]
Malik bin Anas al‑Ashbahi al‑Madani yang lahir 713 M di Madinah, menghabiskan hidupnya di Madinah sampai akhir hayatnya, la tidak pernah keluar dari Madinah kecuali untuk melaksanakan lbadah Haji ke Makkah.
Kondisi ini berbeda dengan Imam Hanafi yang hidup jauh dari pusat Hadits sedangkan Imam Malik hidup ditengah‑tengah beredarnya Hadits, maka tidak heran bila Imam Malik menetapkan hukum lebih menggunakan hadits dari pada ra'yu.
Fatwa hukum yang dikeluarkan Malik bin Anas bersandar kepada Al‑Qur'an untuk pertama kalinya kemudian Sunnah. Setelah sunnah Imam Malik menggunakan qiyas serta mashlahah mursalah dan apabila ada terjadi perbedaan antara Hadits dan amalan penduduk Madinah, maka ia mengambil amalan penduduk Madinah dari pada mengambil Hadits Ahad.[30]
Diantara muridnya adalah at‑Syasi'i, Yahya al‑Lais, al‑Andalusi, al-syaibani, Abdurrahman al‑Qasim di Mesir dan Asad bin al‑Furat al‑Tunisi. Ibn Rusyd sebagai pengarang Bidayatul Mujtahid pun tergolong sebagai pengikut Mazhab Maliki. Dari murid‑muridnya tersebarlah mazhab Maliki ke berbagai tempat, diantaranya di Hejaz, Maroko, Tunis, Tripoli, Mesir Selatan, Sudan, Bahrain dan Kuwait.[31]
Muliammad bin Idris asy‑Syafi’i al‑Quraisy atau yang lebih dikenal dengan Imam Syafi’i ini lahir di Ghuzah tahun 150 H. (767 M) dan wafat di Mesir pada tahun 204 H. Tidak lama setelah kelahirannya, ayah al‑Syafi’i meninggal dunia, kemudian ibunya membawa al‑Syafi’i ke kota Makkah untuk mengembangkan kemampuan putranya disamping sebagai kota leluhumya. Kemampuan lebih yang dimiliki al‑Syafi'i ini membawanya menjadi hafidz alQur'an pada usia sembilan tahun, serta diberi kewenangan untuk mengeluarkan fatwa oleh Muslim bin Khalid sebagai gurunya pada usia dua puluh tahun.
Namun, keinginan kuat untuk pemperkaya keilmuannya, ia tidak tertarik pada tugas yang diberikan kepadanya sebagai mufti di Makkah, maka ia pun berangkat ke Madinah untuk belajar kepada Imam Malik dan memperdalam pemahamannya dari karya besar Imarn Malik yaitu al‑Muwatha. Kepada Muhammad bin Hasan al‑Syalbani, al‑Syafi’i mempelajari pokok‑pokok pikiran madzhab Hanafi, sehingga lengkaplah pengetahuan fikih beliau, baik aliran tradisional, rasionalisme Madinah dan rasionalisme Iraq. [32]
Dari pengembaraannya itu Imam Syafl’i berpendapat bahwa tidak seluruh metode ahlu ra'yi itu baik diambil dan tidak seluruh metode ahlul hadits diambil, tetapi tidak baik pula meninggalkan seluruh metode berfikir masing‑masing. Pemahaman yang dibawa Imam syafi'i ini menghancurkan kefanatikan dalam satu mazilab, bahkan menempatkan diri sebagai penengah antara kedua metode berfikir diatas. [33]
Nasr Hamid abu Zayd berpendapat bahwa Imam Syafi'i meletakkan idiologi moderat dalam bidang fikih dan syari’ah, seperti ai‑Asy'ari yang meletakkan ideologi yang sama di bidang akidah. Pola yang dikembangkan Imam Syafi’i membuat ia dikenal sebagai pembangun dasar‑dasar arus pernikiran dalam fikih, sebagai bukti la meletakkan dasar ushul fikih di dalam karya terbesamya yaitu al‑Risalah[34].
Dalam menetapkan hukum, Imam Syafi’i mengeluarkan fatwa fikih yang bersumber dari Al‑qur'an dan al ‑Sunnah serta Ijma'. Apabila ketiganya belum memaparkan dengan jelas jawaban dari persoalan hukum, maka ia mempelajari perkataan‑perkataan sahabat dan baru kemudian melakukan qiyas.[35]
Pengembaraan Imam Syafi’i dari satu daerah ke daerah lain menambah pengetahuan dan keluasan ilmunya ketika ia belajar kepada guru‑guru yang mempunyai beragam latar belakang, balikan dengan beragam kondisi daerah yang ia kunjungi, membawa kepada perbedaan ketetapan hukum, seperti di Irak dengan qaul qadimnya dan Mesir dengan mazhab qaul jadinya.
Diantara murid‑murid Imam Syafi’i adalah Ahmad bin Hanbal, Daud Al Zahiri, Abu Ja'far Ibn Jarir AI‑Thabari, Isma'il Al‑Muzani, Abu Ya’qub AlBuwaiti, Abu Hamid AI‑Ghazali, Muhy Al‑Din al‑Nawawi, Taqi Al‑Din ali alSubki, dan jalaluddin Al‑Suyuti. Mazhab Imam Syafi’i banyak dianut di daerah. pedesaan Mesir, Palestina, Suria, Lebanon, Irak, Hejaz, India, Indonesia, dan juga di Persia dan Yaman.[36]
Imam mujtahid lainnya adalah. Abu Abdullah. Ahmad ibn Muhammad ibn. Halal ibn Hilal ibn Asad ibn Idris yang kemudian dikenal dengan Imam Ahmad lahir pada tahun 164 H dan wafat di Baghdad pada. tahun 241 H. Selama masa hidupnya Imam Ahmad sering mengadakan perjalanan dan menyibukkan dirinya pada lapangan. hadits, sehingga dengan itu ta diberi. gelar Imam ahli hadits. Maka dari itu kecendrungan Imam Hanbali dalam berijtihad lebih besar kepada hadits dari pada fikih itu sendiri, dan dalam bidang fikih ia juga belajar terutama kepada Imam Syafi’i dengan seringnya ia menyertai Imam Syafi’i ketika bermukim dt Baghdad.
Ketekunan Imam Hanbali pada penyelusuran hadits menyebabkan ia tidak mempunyai mata pencaharian dan hidup dengan sangat sederhana. Walaupun demikian hidup sederhana yang dilalui Imam Hanbali ia nikmati, berbeda halnya dengan Imam Hanafi dan Maliki yang memiliki mata pencaharian yang tetap serta Imam syafi'i yang diberikan fasilitas dari pemerintah disamping aktif mengeluarkan fatwa hukum. [37]
Seluruh waktunya ia habiskan untuk melakukan analisis terhadap haditshadits Nabi dan disusunnya dalam sistematika isnad, sehingga dari upayanya rnenghasilkan karya besarnya Musnad ahmad bin Hanbal, yang dibantu oleh murid‑muridnya terutama Abdullah putranya sendiri. Disamping itu la juga mengeluarkan fatwa‑fatwa fiqih yang diikuti oleh murid‑muridnya, sehingga dari muridnya ini berkembanglah teori hukum‑hukumnya yang kemudian terbentuk mazhab Hanbali.[38]
Dalarn berijtihad Imarn Hanbali menempatkan Al‑Qur'an dan Hadits yang marfu' sebagai sumber pertama, apabila tidak di dapat dalam nash‑nash tersebut la mengambil fatwa para sahabat kemudian mengambil hadits mursal yang tergolong kepada hadits dha' if, baru kemudian ia mengambil qiyas sebagai landsan hukumnya. [39]
Imam Hanbali mempunyai murid‑murid diantaranya adalah Abu Al-Wafa' bin aqil, abdul Qadir Al-Jil, abu AI‑Faraj bin al‑Jawzi, Muwaffaq al‑Din bin Qudamah, Taqi AI‑Din bin Taimia dan Muhammad bin Qayyim, serta Abdul Wahab. Dari para muridnya inilah mazhab Hanbali tersebar ke berbagai daerah dan sampai saat ini penganut mazhab Hanbali terdapat di Irak, Mesir, Suria, Palestina dan Arabia. Namun dibandingkan dengan ketiga mazhab lainnya, Mazhab Hanbali saat ini paling sedikit penganutnya.[40]
Selain keempat mazhab diatas sebenarnya masih ada mazhab lain yang pernah berkembang seperti mazhab Sufyan Al‑Sauri, mazhab Syuraih AI‑Nakha'i, mazhab Abi Saur, mazhab AI‑Awza'i mazhab Al‑Tabari dan mazhab Al‑Zahiri, seluruh mazhab diatas lebih. dikenal dengan mazhab Sunni. Namun saat ini yang masih, ada sampai sekarang hanyalah Mazliab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan mazhab Hanbali. Disamping mazhab sunni tersebut masih. ada lagi mazhab‑mazhab Syi'ah, yaitu mazhab Zaidiyah, Syi'ah Duabelas dan Syi'ah Isma'iliyah.
Banyaknya mazhab fikih yang muncul dalam sejarah perkembangan hukum Islam telah banyak melahirkan kitab‑kitab fikih yang ditulis oleh para imam‑imarn mujtahid sebagai acuan yang dapat digunakan oleh masyarakat saat itu. terhadap berbagai persoalan yang timbuh. Dengan beragamnya karya fikih di masa itu, umat Islam memposisikan pendapat empat mazhab besar sebagai barometer pengambilan hukum. Perhatian masyarakat tidak lagi kepada AlQur'an, sunnah dan sumber‑sumber hukum lainnya, letapi kepada karya‑karya dan buku‑buku fikih para Imam mazhab. Merujuk kepada buku‑buku fikih para Imam mazhab pada akhirnya menyebabkan proses ijtihad saat itu terhenti.
Kondisi di atas dikenal dalam sejarah sebagai masa taklid, tepatnya sekitar abad keempat hijrjyah, karena pembahasan fikih terbatas hanya pada pendapat lmam‑lmam mazhab, tanpa merujuk kepada sumber‑sumber hukum. yang digunakan oleh para Imam mazhab. Masyarakat Islam yang menjadikan mazhab tertentu sebagai rujukan beramal, sebahagian besar mengkultuskan mazhab tersebut bahkan memunculkan pembenaran mazhab satu dan lainnya tidak benar.
Terhentinya pintu. ijtihad oleh sebahagian pengikut imam mazhab ditetaplcan karena melihat ulama‑ulama yang belum mencapai derajat mujtahid membawa kekacauan bidang hukum. Perbedaan ketetapan hukum yang diambil terjadi pada kasus yang sama di tempat yang sama. Para ulama saat itu memandang perlunya menutup pintu ijtihad dan pengadilan perkara mendasarkan keputusannya hanya kepada ulama‑ulama besar terdahulu. Hal yang demikian membawa pada keadaan statis dalam bidang hukum Islam.[41]
Walaupun ijtihad dilakukan pada saat itu, akan tetapi bentuk ijtihad dilakukan berdasarkan pandangan‑pandangan imam mazhab yang dianutnya dan tidak keluar dari ketentuan mazhab yang bersanglcutan. ljtihad yang dilakulcan saat itu mengambil bentuk fatwa.[42]
Sampai saat ini pengaruh periode taklid itu terasa di tengah masyarakat, seperti beberapa komunitas masyarakat menjadikan pendapat imam mazhab tertentu sebagai rujukan amalan yang bersifat furu'iyah [amalan dala ruang lingkup fikih] minimal menjadi muttabi' pada pendapat mazhab fikih tertentu.
Penulis dalam hal ini melihat ada beberapa tipikal masyarakat yang menggunakan pendapat mazhab.fikih tertentu. Perlama, mengikuti secara mutlak pendapat yang dikeluarkan oleh para ulama mazhab dan tertutup, untuk mazhab lainnya, seperti mazhab Syi'i yang dianut oleh mayoritas masyarakat Iran dan mazhab Hanbali di Saudi Arabia. Kedua, mengikuti pendapat mazhab fikih tertentu, namun lebih bersifat toleransi dan terbuka untuk mengambil pendapat mazhab fikih lain walaupun masih memprioritaskan salah satu mazhab fikih atau melakukan metode muqaranah yang pada akhimya mentarjih pendapat yang paling solutif Hasil yang dikeluarkan bisa jadi berbentuk fatwa.
Ketiga, tidak mengikuti sama sekali pendapat‑pendapat yang dikeluarkan oleh para Imam mujtahid, namun langsung mengadakan istinbath hukum dari Al‑Qur'an dan Sunnah Rasul dengan metode yang dilakukan oleh para Imam mujtahid terdahulu.
Perkembangan mazhab di Indonesia memiliki ketiga tipikal masyarakat mazhab di atas, baik masyarakat yang mengikuti faham yang dianut oleh organisasi masyarakat Islam tertentu maupun kelompok masyarakat lain yang tidak mengikuti organisasi kemasyarakatan Islam. Diantaranya adalah Nahdhatul Ulama yang secara ketat mengambil faham dari mazhab fikih Imarn Syafi. Sedangkan AI. Jam'iyatul Washliyah meluaskan sandaran fikihnya kepada empat mazhab yang ada di dalam golongan Ahlus Sunnali waljama'ah, akan tetapi lebih memprioritaskan Mazhab Imarn syafi'i.
Prioritas yang diberikan AI Jam'iyatul Washliyah kepada pendapat mazhab Imam Syafi’i adalah sebuah bukti bahwa secara historis mazhab fikih Imam Syafi’i begitu mengakar dalam masyarakat di Indonesia dan secara khusus Al Washliyah pada awalnya secara konsisten beramal dengan mazhab Imam Syafi’i yang kemudian menyempurnakan rujukan ijtihadnya pada mazhab fikih yang tergolong kepada Ahlus Sunnah Waljama'ah.
[2] Mohd.Idris Ramulyo, Azas‑Azas Hukum Islam, Sejarah Timbul dan Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam dalam Sistim Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar Graflka, 1995), h. 11
[3] Dede Rosyada, Hukum Islam Dan Pranala Sosial, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996, Cet.ke‑4, h. 1
[4] M.Ali As Sayis, Pertumbuhan Dan Perkembangan Hukumfiqih Hasil Refleksi Refflaks, Penerjemah M..All Hasan, judul aslih "Nasyatul Fiqhil ljtihadi Wa Athwaaruhu... (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995) Cet.ke‑ 1, h. 1
[5] Isma'il Muharnmad Syah, dkk. (ed..), Filsafat Hukurn Islam, (Jakarta: Bumi Aksara dan Dirjen Bimbaga Depag, 1992), cet.ke‑2, h.4
[9] Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, (Padang: Angkasa Raya, 1993) h. 15‑17
[10] Upaya penggalian hukun itu disebut dengan ijtihad. Secara etimologi ijtihad berasal dari bahasa Arab yaitu jahada ( ) artinya mengarahkan segenap kemampuan untuk mewujudkan sesuatu. Secara terminology Ijtihad difahami oleh Zakadya al‑Anshon yang dikutip oleh Dede Rosyada adalah upaya yang dilakukan seseorang (faqih) dalam memperoleh ketentuan‑ketentuan hukum yang bersifat dzanni. Narnun ia menainbalikan walaupun. bersifat dzanni akan tetapi diharuskan meyakini kebenarannya baik oleh mujtahidnya ataupun pengikutnya. Upaya yang dilakukan oleh mujtahid itu untuk menyelesalkan permasalahan yang belum disebutkan secara jelas oleh nash baik Alqur'an ataupun Hadits dan juga menyelesaikan (penggallan) atas permasalahan yang tidak ada nashnya sama sekali. Ijtihad yang dilakukan ini sangat diperlukan dengan pertirnbangan bahwa kopleksitas permasalahan yang timbul dari populitas umat semakin berkernbang membutuhkan fleksibelitas untuk menggali hokum agar syari'at Islam itu tetap hidup seiring dengan dinamika kemajuan masyarakat Sehingga tidak ada permasalahan umat yang tidak terselesaikan. Lebih lanjut lihat Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Op. Cit., h. 111‑114
[11] Secara etimologi lafaz quran berasal dari kata qara'a ( )dengan timbangan fu'lan ( ) berarti bacaan.
[14] Muhammad 'Ajaj al‑Khatib, Ushul al‑Hadits: 'Ulumuhu wa Mushtalahuhu, (Beirut: Dar al‑Fikr, 1981), h. 19
[16] ljma' adalah kesepakatan diantara para mujtahidin pada zaman tertentu terhadap perkara‑perkara yang bersifat arnaliyah setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. Uhat Ibid., h. 198
[20] Untuk mengetahui hukum Allah pada bentuk pertarna, kita cukup mengambil hukum dari Nash yang tersurat itu tanpa memahaminya secara mendalam. Bentuk ini berbeda dengan bentuk kedua dan kefiga.Bentuk ketiga lebih mengedepankan analisa para mujtahid dari pada bentuk kedua.
[21]Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara dan Dirjen Bimbaga Departemen Agama, 1992) cet.ke‑2, h.53‑54
[23] M.Hasballah Thaib, Perbandingan Mazhab dalam 11mu Hukum, (Medan: Universitas Sumatera Utara, 1999), h. 1
[25] Abdul Wahab Khalaf, Perkembangan Sejarah Hukum Islam, diterjemahkan oleh Aliyar Arninuddin, judul ash "Khulashah Taarikh Tasyri' al‑lslai"(Bandung: Pustaka Setia, 2000) h.29
[26] Huzamah Tahido Yaggo, Pengantar Perbandingan Mazhab (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999) cet ke‑2, h.72
[29] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya Jilid II, (Jakarta: U1P, 1986) cet.ke‑6, h. 12‑ 15
[32] Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranala Sosial, (Jakarta: RajaGrafindo Persada dan LsiK, 1996) cet.ke‑6, h. 148‑149
[33] Muhammad Zuhri, hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: RajaGrafmdo Persada, 1997) cet.ke‑2, h. 113
[34] Nasr Hamid Abu Zayd, Imam syafi’i: Moderalisme, Eklektisisme, Arabisine, penerjemah Khairon NahdIlyyin, judul asli "Al‑lman. as‑Syafi’i wa Ta'sis at‑Aidulijiah al‑ Wasalhiyah ", (Yogyakarta: Lkis, 200 1) cetle‑2, h. 3
[39] Menurut Sya'ban Muharnmad Isma'il sebagaimana yang dikutip oleh Dede Rosyada bahwa pengambilan qi’yas oleh Imam Hanbali pada keadaan terpaksa, disaat seluruh rujukan di atas tidak menyatakan langsung tentang ketentuan‑ketentuan hukum persoalan‑persoalan yang dihadapi. Dede Rosyada, Op.cit.,h.155Harun Nasution, Op.cil., h.18
[40] Ibid., h. 19
0 komentar:
Posting Komentar