World News

Komisi Gratis | Bisnis Online Tanpa Modal

Senin, 13 Februari 2012

Filsafat Pendidikan


BAB I

PENDAHULUAN


Puji syukur atas hidayah dan rahmat Allah SWT atas izin–Nya maka pemakalah dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini, salawat dan salam bauat junjungan Rasulullah SAW  yang telah membawa umatnya kedunia yang intelek dari dunia yang gelap.
Filsafat pendiiak itu lahir dan  menjadi bagian dari rukun dan konsep ilmu pengetahuan yang normatif, merupakan disipli ilmu yang merukan kaidah-kaidah norma/nilai yang akan menjadi ukuran tingkah laku manusia yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Makalah ini akan membahas pentingnya filsafat pendidikan untuk lebih jelasnya akan dijelaskan pada Bab II (pembahasan).
Pemakalah berharap makalah yang sedikit ini bermanfaat pemakalah khususnya dan pembaca umumnya.









BAB II
PEMBAHASAN
PENTINGNYA FILSAFAT PENDIDIKAN

Secara sederhana filsafat pendidikan itu adalah nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan filsafat yang menjiwai, mendasari dan memberikan identitas (karakteristik) suatu sistem pendidikan. Filsafat pendidikan ialah jiwa, roh, kepribadian sistem kependidikan nasional, karenanya sistem pendidikan nasional wajarlah dijiwai didasari dan mencerminkan identitas pancasila, citra dan karsa bangsa kita, atau tujuan nasioanal  dan hasrat luhur rakyat Indonesia tersimpul didalam pembukaan UUD 1945, sebagai perwujudan jiwa dan nilai pancasila.

A.    Dasar-dasar dan tujuan filsafa pendidikan

a.       Dasar filsafat pendidikan
Dasar pendidikan yaitu  suatu aktivitas untuk mengembangkan dalam bidang pendidikan dan pembinaan kepribadian, tentunya pendidikan memerlukan landasan kerja untuk memberi arah bagi programnya.
Di Indonesia, secara formal pendidikan mempunyai dasar atau landasan yang kuat yaitu pancasila yang merupakan dasar dari segala kegiatan  bangsa Indonesia dan Ketuhanan Tuhan Yang Maha Esa sebaagi sial yang pertama. Dasar pokok pendidikan itu menegaskan bahwa pendidikan itu adalah untuk mendidik akhlak dan jiwa mereka. Juga harus ditanamkan rasa keutamaan. Membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi.
b.      Tujuan Filsafat Pendidikan
Secara umum tujuan pendidikan dapat dikatakan dapat membawa anak kearah tingkat kedewasaan . artinya membawa anak didika agar dapat berdiri sendiri. (mandiri) dalam hidupnya ditengah-tengah masyarakat. 4 macam tujuan pendidikan yang tingkatan dan  luasnya berlainan yaitu tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional dan tujuan kurikuler.[1]
1.      Tujuan Pendidikan Nasional
Yaitu membangun kualitas yang bertakw kepada Tuhan Yang MAHA Esa dan selalu dapat meningkatkan kebudayaan dengan-Nya  sebagai warga negara yang berjiwa pancasila yang mempunyai semangat dan kesadaran yang tinggi, berbudi pekerti luhur dan berkepribadian  yang kuat, cerdasa, terampil dan dapat mengembangkan dan menyuburkan tingkat demokrasi, dapat memelihara hubungan yang baik antara sesama manusia dan dengan lingkungannya, sehat jasmani, mampu megembnagkan daya estetika, sanggup membangun diri dan masyarakat
2.      Tujuan Intitusional
Adalah perumusan secara umum pola perilaku dan pola kemampuan yang harus dimiliki oleh lulusan suatu lembaga pendidikan.
3.      Tujuan Kurikuler
Tujuan Kurikuler yaitu untuk mencapai pola perilaku dan pola kemampuan serta keterampilan yang harus dimiliki oleh lulusan suat lembaga, yang sebenarnya merupakan tujaun intitusional dario lembaga pendidikan tersebut.
4.      Tujuan instruksional
Adalah rumusan secara terperinci apa saja yang harus dikuasai oleh siswa dan anak didik sesudah ia melewati kegiatan instruksional yang bersangkuatan dengan berhasil

B.     Peranan-peranan Fungsi Filsafat Pendidikan

a.       Peranan Filsafat Pendidikan
Proses pendidikan adalah proses perkembangan yang teleologis, bertujuan.Tujuan proses pengembangan itu secara alamiah ialah kedewasaan, kematangan. Sebab potensi manusia yang paling alamiah yaitu bertumbuh menuju ketingkat kedewasaan, kematangan. Potensi ini akan  terwujud apabila prakondisi alamiah dan sosial manusia memungkinkan, misalnya : iklim, makanan, kesehatan, keamanan relatif sesuai dengan kebutuhan manusi.
Manusia kemudian melihat kenyataan, bahwa tidak semua manusia berkembnag sebagaimana diharapkan lahirlah didalam pemikiran manusia problem-problem tantang kemungkinan-kemungkinan perkembangan potensi manusia itu.
Timbulnya problem dan pikiran pemecahannya itu adlah bidang pemikiran filsafat-dalam hal ini filsafat pendidikan-.Ini berarti pendidikan adalah pelaksanaan daripada ide-ide filsafat dengan  perkataan lain ide filsafat yang memberi asas kepastian bagi nilai peranan pendidikan bagi pembinaan manusia, telah melahirkan ilmu pendidikan, lembaga pendidikan dan aktivitas penyelenggara pendidikan. Jadi peranan filsafat pendidika merupakan sumber pendorong adanya pendidikan. Dalam bentuknya yang lebih terperinci kemudian, filsafat pendidikan menjadi jiwa dan pedoman asasi pendidikan
b.      Fungsi filsafat pendidikan
Fungsi filsafat pendidikan tersimpul dalam fungsi-fungsi berikut :
1.      Fungsi spekulatif
Filsafat pendidikan berusaha mengerti keseluruha persoalan pendidikan dan mencoba  merumuskannya dalam satu gambaran pokok sebagai pelengkap, bagi data-data yang telah ada dari segi dunia.[2]
2.      Fungsi Normatif
Sebagai penentu arah pedoman untuk apa pendidikan itu. Asas ini tersimpul dalam tujuan pendidikan, jenis masyarakat apa yang ideal yang akan kita bina.Khususnya norma moral yang bagaimana sebaiknya yang manusia cita-citakan.
3.      Fungsi Kritik
Terutama untuk memberi dasar  bagi pengertian kritis  rasional dalam pertimbangan danmenafsirkan data-data ilmiah.misalnya, data pengukuran analisa evaluasi baik kepribadian  maupun achievement (prestasi). Fungsi kritik berarti pula analisis dan aparatif  atas sesuatu, untuk mendapatkan kesimpulan.
4.      Fungsi Teori bagi Praktek
Semua ide, konsepsi, analisa,dan kesimpulan-kesimpulan filsafat pendidikan adalah berfungsi teori. Dan teori ini adalah dasar bagi  pelaksanaan/praktek pendidikan. Filsafat memberikan prinsip-prinsip umum bagin  suatu praktek
5.      Fungsi Integratif
Mengingat fungsi filsafat pendidikan sebagai  asas korohanian atau rohnya pendidikan, maka fungsi interaktif filsafa pendidikan adalah wajar. Artinya ebagi pemandu fungsional semua nilai dan asas normatif dalam ilmu pendidikan sebagai ilmu normatif.











BAB III
PENUTUP

Secara sederhana Filsafat pendidikan ialah nilai-nilai keyakinan – keyakinan filosofi yang menjiwaii, mendasari dan memberikan identitas/karateristik suatu sistem pendidikan.
Dan dasar filsafat pendidikan yaitu pancasila yang merupakan dasar setiap dan laku dan kegiatan bangsa Indonesia dan Ketuhananya Yang Maha Esa sebagai sila pertama. Sedangkan tujuanannya  ada 4 macam yang tingkatan dan luasnya berlainan yaitu tujuan pendidikan rasional, institusional, Intruksional dan kurikuler.
Peranan filsafat pendidikan merupakan sumber pendorong adanya pendidikan . Filsafat pendidikan dan menjadi jiwa dan pedoman asasi pendidikan. Dan fungsi filsafat pendidikan  itu  terbagi lima yaitu : fungsi spekulatif, normatif, kritik, teori bagi praktek dn integratif.







[1] Jalalluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, Jakarta, Gaya media Pratama, 1997.hal.116-120.
[2] Muhammad Noorsam, Filsafat Kependidikan dan dasar filsafat kependidikan pancasila,Suranbaya Usaha Nasional. 1986, hal 52

Arti dan Kegunaan Intelegengensi


BAB I
PENDAHULUAN

Intelegensi merupakan salah satu aspek psikologis yang dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas pengolahan pembelajaran siswa.
Intelegensi diartikan sebagai kemampuan psiko-fisik untuk mereaksi rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara yang tepat (Rober, 1988).
Peran otak dalam hubungannya dengan intelegensi manusia lebih menonjol dari pada peran organ-organ tubuh yang lain. Karena otak merupakan menara pengontrol hampir seluruh aktivitas manusia.
Semakin tinggi kemampuan intelegensi seseorang, semakin besar peluangnya untuk meraih sukses dan sebaliknya.
Setiap calon guru dan guru profesional sepantasnya menyadari bahwa kebiasaan intelegensi siswa, baik yang positif seperti superior maupun yang negatif seperti border line menimbulkan kesulitan belajar bagi yang bersangkutan.

BAB II
ARTI DAN KEGUNAAN INTELEGENSI
DALAM PENDIDIKAN MODERN

A.    Intelegensi

Berdasarkan literatur mutakhir tentang Psikologi dan Pendidikan terhadap suatu pendapat umum bahwa intelegensi itu memang ada, tetapi hingga kini masih ada pandangan-pandangan yang berbeda mengenai defenisi, asal dan cara pengukuran intelegensi. H.J Eysenck dalam “Intelligence Assessment: A Theoretical and Experimental Approach” British Journal of Education Psychology, XXXVII (1967) page 81-89 mengatakan bahwa uraian tentang intelegensi telah mengalami perubahan sejak Galton berusaha untuk menghubungkan pengukuran proses panca indera dengan intelegensi, dan sejak Cattell mengukur kemampuan intelektual berdasarkan data mengenai waktu bereaksi yang terdapat pada anak cobanya.
Terman beranggapan bahwa intelegensi adalah kemampuan untuk mengadakan pemikiran secara abstrak, sedang berbagai psikolog menyatakan bahwa intelegensi adalah hasil pengukuran dengan test intelegensi. Defenisi-defenisi semacam itu tidaklah lengkap atau berlebih-lebihan.
Orang yang bermain dengan jujur dinamakan dengan pemain jujur, orang yang selalu membayar hutangnya pada waktunya adalah orang jujur, orang yang tidak pernah berdusta dinamakan orang jujur, murid yang tidak pernah mencontek disebut murid jujur. Dari semua pengertian tentang jujur itu kita dapat memperoleh gambaran tentang apa yang sebenarnya yang dinamakan “kejujuran”. Demikian pula dengan intelegensi. Intelegensi bukanlah suatu benda atau sifat, intelegensi adalah suatu pengertian yang mencakup banyak arti dan dianggap sebagai suatu generalisasi dari arti-arti itu. Seorang dapat dikatakan salah satu tindakanya intelegen, di dalam tindakan lainnya tidak. Seorang dinamakan intelegen, bila ia dapat melakukan tugasnya dengan cepat, mudah dan tepat.
Dalam tahun 1905 Alfred Binet, seorang psikolog Perancis melancarkan suatu seri test kemampuan mental pada murid-murid sekolah di Paris. Berdasarkan asumsi bahwa intelegensi adalah kemampuan umum untuk belajar atau kemampuan untuk memanfaatkan hasil pengajaran dan pengalaman. Binet berpendapat bahwa orang-orang dengan intelehensi yang sama akhirnya berbeda dalam pelaksanaan tugas yang diberikan padanya, bukan disebabkan oleh faktor intelegensi, melainkan oleh berbagai faktor psikologis lain seperti motivasi, minat atau hasil pelajaran terdahulu. Berdasarkan keyakinan bahwa intelegensi itu merupakan suatu kesatuan, Binet menggunakan satu score matematik tunggal yang merupakan hasil rata-rata dari suatu rangkaian tugas.
Pada tahun 1911 Binet berhasil mengadakan revisi pada test intelegensinya yang digunakan untuk menentukan apakah anak-anak antara usia 2 sampai 18 tahun (menurut score yang diperolehnya) dapat mengikuti kurikulum tradisional yang dipakai oleh sekolah-sekolah di Paris. Dibuatlah pertanyaan-pertanyaan mengenai pengalaman di rumah (dalam keluarga), di dalam lingkungan, di sekolah dengan anggapan bahwa tiap anak telah mendapat pengalaman yang sama. Dengan menghitung item yang dijawab dengan betul, sampailah Binet pada suatu kesimpulan yang memuat suatu perkiraan tentang taraf perkembangan tiap anak. Akhirnya Binet merasa mendapat kemungkinan menghitung usia mental anak cobanya, mendapat petunjuk tentang perkembangan intelek sebelumnya, dan dapat meramalkan potensi intelektual selanjutnya.
William Stern, seorang psikolog Jerman, seperti Binet, juga berpendapat bahwa intelegensi merupakan suatu kesatuan, membandingkan usia mental dan usia kronologis, menjadi IQ atau Intelligence Quoetiont.
Lewis Terman dari Stanford University (USA) menerima dan mempopulasikan gagasan IQ di Amerika, termasuk rumus:
IQ =
Mental Age
X 100
Chronological Age

(Dinamakan: Stanford – Binet Intelligence Scale)
Charles Spearman, seorang ahli matematika berkebangsaan Inggris, telah mengetest banyak orang untuk mengetahui kemampuannya dalam bidang ilmu pasti, bahasa dan sebagainya. Menurut Spearman ada dua jenis faktor dalam intelegensi tiap orang, yaitu faktor g (singkatan dari general) dan faktor s (singkatan dari special).
Faktor g diperlukan untuk semua situasi, faktor s hanya berguna untuk situasi tertentu.
Edward L. Thorndike mendukung pandangan Spearman dan berpendapat bahwa kemampuan mental seseorang mempunyai tiga dimensi: intelligence mekanik, intelligence sosial dan intelligence abstrak. Thorndike menyatakan bahwa mungkin sekali seseorang tinggi intelegensi abastraknya, tetapi intelegensi mekanik dan sosialnya rendah.
Teori tentang faktor-faktor dalam intelegensi didasarkan atas analisa statistik dari item-item dalam test intelegensi dari jumlah faktor itu berkisar antara dua (Spearman) dan 120 (Guilford).
Salah satu teori yang terkenal adalah “Primary Mental Abilities Theory” menurut Lois Thurstone.
Thurstone menentukan adanya tujuh faktor atau kemampuan utama. Dari hasil penyelidikan yang dilakukan ternyata bahwa faktor-faktor itu pada berbagai test mental terdapat dalam berbagai kombinasi atau bahwa faktor-faktor itu membentuk yang dinamakan “general intelligence” (intelegensi umum).
1.      V (verbal), faktor yang diukur dengan kosa kata atau arti kata-kata
2.      N (Number), faktor yang diukur dengan mengerjakan hitungan
3.      S (spatial), faktor yang diukur dengan item yang mengharuskan testee melihat hubungan antar ruang, atau testee harus menentukan kesamaan dan perbedaan gambar-gambar dalam letak yang berbeda-beda.
4.      W (word fluency), faktor yang tidak sama dengan faktor V, mengukur kemampuan menggunakan serangkaian kata-kata dengan cepat dan tepat
5.      R (reasoning), faktor yang mengukur kemampuan mengerti dan menyimpulkan isi surat atau karangan yang disajikan berturut-turut atau berkelompok
6.      M (memory), faktor yang diukur dengan hasil hafalan dalam waktu singkat
7.      P (perceptual), faktor yang diukur dengan tugas-tugas yang menuntut kecepatan menangkap adanya perbedaan atau kesamaan objek atau gambar tertentu

B.     Perbedaan Intelegensi

Lebih dari satu abad yang lalu Sir Francis Galton (lahir 1822), berkebangsaan Inggris, sebagai saudara sepupu Charles Darwin menggunakan teori evolusi Darwil, dalam penyelidikan nya tentang intelek manusia.
Atas dasar keyakinan nya bahwa intelegensi  adalah hasil dari kerjasama antara panca indera dan syaraf, dan bahwa panca indera dan syaraf berasal dari, jadi dengan sendirinya mengukur intelegensi.
Dalam tahun 1882 Galtol menyelidiki dan mengukur kemampuan orang mendengar, kemampuan melihat, kemampuan bereaksi dan sebagainya. Dari data yang dikumpulkan ia berkesimpulan tentang adanya perbedaan individual. Ia menemukan bahwa perbedaan antara individu besar sekali dalam melakukan test yang sangat sederhana.
Galton yakin benar bahwa intelegensi adalah buah keturunan. Di samping itu Galton sangat menaruh perhatian pada perbedaan-perbedaan individual. Salah seorang murid Galton, Karl Pearson, seorang ahli matematika, meletakkan dasar penganalisaan data dengan statistik yang kemudian terbukti berguna sekali dalam penelitian intelegensi.
Galton dan Pearson terpukau oleh perbedaan-perbedaan individual dalam tinggi, berat dan intelegensi. Mereka beranggapan bahwa ciri-ciri itu lebih berguna bila pengukuran itu dihubungkan dengan frekuensinya dalam suatu populasi, dari pada mendapatkan nilai mutlak (sebagai hasil pengukuran), misalnya untuk tinggi, kg untuk berat.
Hubungan relatif itu sangat penting untuk psikologi.
Adalah lebih penting untuk mengetahui bahwa tinggi seseorang menempatkannya dalam kedudukan relatif di atas 50% dari suatu populasi laki-laki dewasa dari pada mengetahui bahwa tinggi yang bersangkutan adalah 175 cm. Konsep perbedaan individual juga memungkinkan kita menemukan suatu patokan untuk membandingkan bermacam-macam pengukuran. Walaupun tinggi dan berat secara langsung tidak dapat dibandingkan karena ukuran yang berbeda (meter dan kilogram), mereka dapat dibandingkan berdasarkan perhitungan berapa penyimpangan mereka dari nilai rata-rata mereka. Jadi, hubungan antara dua jenis ukuran dapat dinyatakan dalam nilai kuantitatif yang dinamakan krelasi.

C.    Alfred Binet dan Usia Mental

Pada tahun 1904 Menteri Pendidikan Perancis di Paris menugaskan Alfred Binet untuk mengadakan penelitian tentang masalah pendidikan bagi anak-anak tuna mental. Binet dan kawan-kawan berkesimpulan bahwa untuk anak-anak tersebut perlu didirikan sekolah tersendiri. Alfred Binet dan Theodore Simon menyusun test intelegensi yang pertama untuk membedakan anak tuna mental dari anak dewasa. Berbeda dengan Galton, Binet berpendapat bahwa intelegensi adalah kemampuan seseorang untuk mengambil keputusan intelektual yang tepat.
Tugas-tugas yang diberikan pada anak-anak Perancis itu dimulai dari yang paling mudah sampai yang paling sukar. Score untuk test yang diberikan berdasarkan konsep usia mental. Binet menentukan bahwa hasil test yang diperoleh anak-anak dalam usia rata-rata enam tahun, dipakai untuk menetapkan bahwa anak lain yang memperoleh score yang sama, berusia mental enam tahun. Ini berarti bahwa sejak permulaan pengukuran intelegensi adalah pengukuran relatif dari perkembangan mental. Score intelegensi menurut Binet tidaklah mutlak, karena dasarnya adalah hasil seseorang dibandingkan dengan hasil rata-rata anak-anak yang seusai.
Dalam kenyataan test Binet dapat dipakai dalam praktek. Binet dapat meramalkan anak mana yang akan berhasil dan anak mana yang akan gagal dalam pelajaran nya, tentu saja terkecualian. Adakalanya anak yang pandai tetapi keras kepala menunjukkan hasil yang kurang dibandingkan dengan ramalan test intelegensi yang ditempuhnya, sebaliknya anak yang kurang pandai tetapi penurut akan lebih berhasil.
Kejadian seperti itu mungkin juga disebabkan oleh penilaian guru yang tidak tepat atau penskoran test yang keliru.
Test Binet adalah test individual, yang diberikan secara perorangan dan do-score oleh seorang ahli.

D.    Test Stanford – Binet

Binet menggunakan test yang dibuatnya tahun 1905 secara continue yang mengadakan revisi dua kali dalam tahun 1908 dan 1911. Pada tahun 1916 Lewis M. Terman dari Stanford University, seorang psikolog berkebangsaan Amerika, mempublikasikan sebuah revisi atas test Binet, yang diberi nama test Stanford – Binet. Terman menggunakan istilah IQ (Intelligence Quotient), yang dicontohnya dari William Stern yang memakainya sejak 1913.
Test Stanford – Binet direvisi dalam tahun 1937 dan 1960. Revisi 1960 menggunakan cara lain untuk menghitung IQ, cara yang pernah dipakai David Wechsler dan dinamakan Deviasi IQ. Cara baru itu dipakai karena terbukti bahwa perbandingan usia mental dan usia kronologis hanya dapat membantu kita menghindari masalah penimbangan itu dengan menggunakan perhitungan persentil misalnya, seorang anak berusia 17 tahun yang memperoleh score 82 persentil untuk kelompok usia itu (yang berarti score itu sama atau melebihi 84 persen dari score semua anak umur 17 tahun yang mengikuti test tersebut), menurut Stanford – Binet mempunyai IQ 116 (dapat dilihat pada tabel-tabel statistik.

E.     Test Wechler

David Wechler, lahir pada tahun 1896 di Lespedi, Rumania, pindah ke Amerika pada tahun 1939 menyajikan testnya yang pertama dengan nama test Wechler – Bellevue, suatu test individual yang harus diselenggarakan dan diskor oleh seorang ahli. Test ini adalah test untuk orang dewasa. Dalam tahun 1949 Wechler mempublikasikan “The Wechler Intelligence Scale for Children” (WISC) dan pada tahun 1955 al-Qur'an merevisi test untuk orang dewasa, yang diberi nama “The Wechler Adult Intelligence Scale” (WAIS), pada tahun 1963 diedarkan “The Wechler Pre-School and Primary Scale of Intelligence” (WPPSI) untuk anak-anak berumur empat sampai enam setengah tahun.
Menurut Wechler intelegensi adalah himpunan dari kemampuan umum individu untuk bertindak, bertujuan, berpikir rasional dan untuk penyesuaian dengan lingkungan secara aktif.
Test Wechler yang menggunakan deviasi IQ, memberikan tiga score IQ, yaitu IQ verbal, score IQ pelaksanaan tugas (performance) dan score IQ lengkap (fill scale IQ score).

F.     Test IQ untuk Kelompok

Selama perang dunia I, sejak 1917 dibuat di Amerika: Army Alpha Test untuk mereka yang dapat membaca dan Army Beto Test untuk mereka yang buta huruf.
Sekarang banyak dipakai untuk mengetest murid.
1.      The California Test of Mental Maturity
2.      The School and College Ability Test
3.      The Tests of General Ability
4.      The Kuhlnam – Anderson Intelligence Test.
Catatan:     di Indonesia berbagai test yang telah disesuaikan dengan keperluan anak dan orang Indonesia.

G.    Apa yang Dinamakan Test IQ

Telah kita ketahui bahwa Alfred Binet dengan test intelegensinya yang pertama telah dapat meramalkan apakah anak yang ditest akan berhasil atau gagal dalam pelajarannya di sekolah. Sejak itu hasil yang dicapai Binet pada umumnya sampai saat ini masih diakui kebenarannya.
Delapan puluh tahun telah lewat dan ratusan tahun studi membuktikan bahwa test IQ meramalkan keberhasilan akademik (skolastik). Tekecualikan terjadi bukan karena faktor-faktor intelektual, emosi, keadaan jasmaniah yang kurang menguntungkan, kekurangan motivasi.
Apakah test IQ juga dapat meramalkan keberhasilan atau kegagalan seseorang dalam bidang-bidang lain di samping bidang akademik? Apakah anak-anak dengan IQ yang tinggi dan nilai-nilai sekolah yang tinggi pula akan berhasil dalam hidup kekal? Dalam pekerjaannya? Dalam hal keuangan? Dalam kehidupan? Dan sebagainya.
Lewis M. Terman dan kawan-kawan yang telah mengadakan penelitian terhadap ratusan anak sekolah di California (USA) yang diikuti perkembangannya sampai dewasa, dapat mengambil kesimpulan bahwa test IQ dapat meramalkan banyak hal di samping keberhasilan skolastik.


H.    Kegunaan Test Intelegensi

Test intelegensi berguna untuk menilai kemampuan seseorang murid dalam melakukan tugasnya seperti yang diharapkan dari padanya di sekolah. Dengan test tersebut dapat diambillah sampling dari kesanggupan murid, dapat dinilai kesanggupannya dalam keseluruhan dan dengan demikian dapatlah dinilai kemampuan belajarnya.
Akan tetapi dari penyelidikan-penyelidikan yang dilakukan oleh Binet tidak boleh diambil kesimpulan bahwa guru atau dosen yang selama beberapa tahun telah mendidik atau mengajar seorang murid, yang dalam berbagai rapat guru bertukar pikiran dengan guru lain mengenai hasil yang telah dicapai murid yang bersangkutan, sama sekali tidak menentukan intelegensi itu.
Jadi, demi kepentingan murid perlu kiranya di samping pemeriksaan intelegensi selalu dilakukan pemeriksaan psikologi secara menyeluruh atas pribadi itu, tanpa mengabaikan pertimbangan yang diberikan oleh guru pengasuhnya.
Karena bilakah hasil pelajaran di sekolah hanya tergantung dari intelegensi seseorang? Tidak pernah. (Dr. M.J Lengeveld. Inleiding tot studie der Paedagogische Psychokogy v.d Middelbare Schoolleeftijd, J.B Wolters, Groningen, - Jakarta 1957, halaman, 275 – 276).
Test buatan Binet berisikan penyelesaian tugas yang memungkinkannya menetapkan batas-batas tertentu untuk sampai pada suatu kesimpulan yang agak memadai tentang kemampuan seseorang. Binet beranggapan bahwa kedunguan seseorang anak teristimewa itu adalah suatu masalah kekurangan intelegensi, suatu pandangan yang sangat intelektualistis. Dan apa yang dinamakan intelegensi itu adalah sebagian besar pengetahuan yang diperoleh di sekolah, pengaruh milleu, ingatan dan sebagainya. Perlu diketahui bahwa hasil pemeriksaan dengan menggunakan test intelegensi ala Binet tergantung dari keinginan pemeriksa, apa sebenarnya yang hendak diperiksanya, apa yang dianggapnya penting dalam pemeriksaan itu dan apa yang ditemukannya. Binet sendiri ingin menentukan intelegensi seseorang lepas dari kemampuan belajarnya.
Perlu pula diketahui bahwa intelegensi dan kemampuan belajar tidak identik. Bila kita meneliti penyelidikan-penyelidikan yang dilakukan terhadap binatang (Mc. Dougall dan sebagainya) kita melihat bahwa seekor binatang belajar menyingkirkan rintangan-rintangan sehingga ia pada akhirnya dapat menghampiri makanan yang disediakan, maka dalam tingkah lakunya itu kita menelaah test Binet menemukan adanya reaksi. Tetapi bila kita menelaah test Binet untuk anak umur 7 tahun kita lihat bahwa pertanyaan atau tugas ketiga berbunyi: “Ambillah kunci ini dan letakkan di atas kursi itu”, dalam hal ini anak itu tidak perlu melihat adanya reaksi. Yang diperlukan adalah pengenalan milieu-nya, pengenalan berbagai benda hasil kebudayaan masyarakat tempat ia dibesarkan, pergaulan dengan orang-orang yang agak terpelajar, sekedar penguasaan bahasa.
Banyak ahli telah mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk memperbaiki test intelegensi, di antaranya Stern, Bobertag, Lipmann yang berusaha melepaskan test-test itu dari pengaruh pengetahuan sekolah dan pendidikan, sedangkan Pintner-Paterson, Bobertag, Lipmann-Bogen, Terman, Yerkes berusaha mengurangi aspek penguasaan bahasa dalam test-test itu.
Akan tetapi, sekali lagi ditandaskan bahwa: hanya dengan penggunaan test intelegensi menetapkan apakah seseorang dapat menyelesaikan pelajaran nya di sesuatu sekolah atau tidak, adalah sangat berbahaya. A Priori kita menjatuhkan vonis terhadap anak-anak secara langsung atau tidak langsung yang menyangkut nasibnya seumur hidup.
Oleh karena pemeriksaan psikologis pada hakekatnya adalah suatu penyelidikan melalui suatu proses yang tidak langsung, maka kekeliruan dan kesalahan tentu saja mungkin terjadi. Kekeliruan dan kesalahan itu dapat terjadi karena proses penyelidikan itu adalah suatu sampling dan pemeriksaannya didasarkan atas suatu anggapan atau dugaan. Anggapan itu dalam hal-hal tertentu dapat benar atau tidak benar.

I.       Kemampuan Umum Kemampuan Khusus

Tiap anak memiliki suatu kombinasi dari berbagai bakat yang membedakannya dari anak lain. Bakat-bakat itu adalah kemampuan-kemampuan, potensi yang bila mendapat motivasi dan kesempatan yang baik dapat berkembang menjadi achievement- achievement aktual.
Kemampuan umum untuk dapat menyelesaikan diri dengan baik dalam situasi-situasi yang mengandung problematik tertentu dan untuk dapat mengadakan pemilihan yang telah dalam melakukan sesuatu dinamakan intelegensi.
Intelegensi secara luas bukanlah suatu kemungkinan untuk bertindak dengan mudah dalam cara tertentu, tetapi adalah suatu kemampuan untuk bertindak menurut keperluan sesuai dengan kepentingan pribadi. Kemampuan itu dapat dikembangkan oleh pengalaman mengadakan penyesuaian diri, tetapi juga oleh kondisi jasmaniah dan keturunan.
Dua faktor yang menentukan kemampuan seseorang dan yang berhubungan erat satu sama lain adalah struktur dan fungsi. Hal-hal yang terdapat dalam struktur dapat diharapkan dapat berfungsi, sebaliknya hanya dengan penggunaan struktur yang ada dengan sebaik-baiknya dapatlah hal-hal yang terdapat dalam struktur itu berfungsi baik.
Seorang anak yang dilahirkan tanpa kaki tidak akan pernah belajar berjalan normal, disebabkan karena kekurangan dalam struktur, tetapi seseorang yang dilahirkan dengan dua buah kaki dengan baik disertai pengalaman fungsional yang tepat. Dapat dikatakan bahwa seorang anak yang dilahirkan dengan kaki yang tidak terdapat cacat mempunyai kemampuan potensial itu masih memerlukan latihan sebelum ia menjadi suatu kemampuan aktual. Demikian pula tidak semua anak yang berkaki lengkap dan mendapat latihan akan menjadi pelari cepat, walaupun kemungkinan ada padanya dan milieu memberikan kesempatan padanya.
Tiap petani mengetahui bahwa benih yang amat bagus ditaburkan di atas tanah yang baik dan disertai dengan kondisi-kondisi lain yang baik pula dapat menghasilkan tanaman yang baik. Benih yang kurang baik hanya dapat tumbuh menjadi tanaman yang baik bila mendapatkan tanah dan perawatan yang baik, tetapi pemeliharaan dan tanah yang baik itu tidak akan menyebabkan tanaman itu sebaik tanaman yang berasal dari benih yang sangat baik. Sebaliknya kurang pemeliharaan juga dapat juga mengakibatkan bahwa benih yang baik menjadi tanaman yang kurang baik. Pada benih yang kurang baik tadi, kemampuan potensial memang tidak ada, pada benih yang baik itu, kemampuan potensial yang ada tidak dipergunakan secara efektif.
Kemampuan potensial itu berkaitan dengan sifat-sifat jasmaniah maupun psikologis, intelegensi, kemampuan bermain tennis, kemampuan menjadi pelukis berkembang sebagai hasil interaksi dari potensi yang dibawa lahir dan kondisi-kondisi lingkungan yang baik (tercakup di dalamnya iklim, makanan, latihan dan sebagainya). Kekurangan kemungkinan dan kesempatan menghalangi terjadinya kemampuan aktual seperti yang diharapkan walaupun kemampuan potensial nya ada.
Kemampuan umum yang dimiliki oleh mereka yang dapat berbagai situasi dapat menunjukkan response yang intelligent. Response itu menunjukkan unsur-unsur yang umum yang biasanya terdapat pada response yang dikatakan intelligent itu.
Kemampuan khusus nampak pada situasi yang khas, bakat untuk musik, tidak terdapat pada semua orang.
Tugas pendidikan adalah antara lain:
1.      Memperkembangkan kemampuan yang telah nampak
2.      Membangkitkan potensi yang masih latent (Tidur).
Dengan demikian pendidik membantu anak dalam perkembangannya dalam keseluruhan dan dalam pengintegrasian semua kemampuannya; tercapailah tujuan pendidikan; membantu anak didik memperkembangkan potensi-potensi yang ada padanya sehingga tercapai hasil yang maksimal melalui jalan-jalan yang wajar.

J.      Tingkatan IQ

Binet, Sinom dan Bobertag menemukan bahwa intelegensi manusia bertingkat-tingkat, di antaranya adalah:
IQ      140 ke atas        :     sangat cerdas
IQ      120 – 140          :     cerdas
IQ      110 – 120          :     pandai
IQ      90 – 110            :     normal
IQ      7 0 – 90             :     bodoh
IQ      50 – 70              :     debil
IQ      30 – 50              :     imbecile
IQ      kurang dari 30  :     idiot






BAB III
PENUTUP

Kebanyakan orang menganggap bahwa intelegensi sebagai kemampuan mental superior yang bersifat menyeluruh dan mencakup semuanya.
Mereka bahkan menganggap orang dengan ingatan baik pandai dari pada populasi pada umumnya.
Para psikolog memilih berpikir dalam istilah berbagai jenis “intelegensi” atau kecerdasan.
Enam jenis intelegensi yang patut kita ketahui, yaitu:
1.      Intelegensi verbal
Kemampuan keterampilan verbal atau tertulis
2.      Cara berpikir logis
Kemampuan mencari penyelesaian masuk akal sebuah masalah.
3.      Pemikiran spesial
Kemampuan memahami cara benda-benda dalam ruangan.
4.      Keterampilan pengetahuan tentang manusia
Kemampuan memberikan motivasi, bekerjasama, memimpin dan memperhatikan orang.
5.      Intelegensi interpersonal
Kemampuan mengenal diri sendiri.
6.      Keterampilan motorik

DAFTAR PUSTAKA

Samual Sratoe, Psikologi Pendidikan untuk Para Pendidik dan Calon Pendidik, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Fakultas Indonesia, 1992
Muhibbin Syah, M.E.D, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, Cetakan ke-4, 2004
Fred B. Corrow, The Shaper Mind, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
BAB I       PENDAHULUAN ....................................................................... 1
BAB II      ARTI DAN KEGUNAAN INTELEGENSI DALAM PENDIDIKAN MODERN           
A.    Intelegensi................................................................................ 2
B.     Perbedaan Induvidual.............................................................. 6
C.     Alfred Binet dan Usia Mental.................................................. 7
D.    Tes Stanford – Binet................................................................ 9
E.     Test Wachlar ............................................................................ 9
F.      Test IQ untuk Kelompok.......................................................... 10
G.    Apa yang Dinamakan Test IQ.................................................. 11
H.    Kegunaan test Intelegensi ....................................................... 12
I.       Kemampuan Umum dan Kemampuan Khusus ....................... 14
J.       Tingkatan IQ............................................................................ 15

BAB III    PENUTUP.................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 19