Semasa Rasulullah SAW masih hidup, seorang sahabat bertanya, ''Mungkinkah seorang Mukmin itu pengecut?'' ''Mungkin,'' jawab Rasulullah. ''Mungkinkah seorang Mukmin itu bakhil (kikir)?'' ''Mungkin,'' lanjut Rasulullah. ''Mungkinkah seorang Mukmin itu pembohong?'' Rasulullah SAW menjawab, ''Tidak!''
Ulama besar dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Sayid Sabiq (almarhum) ketika menukilkan hadis ini dalam bukunya Islamuna menjelaskan bahwa iman dan kebiasaan bohong tidak bisa berkumpul dalam hati seorang Mukmin. Rasulullah SAW berwasiat agar umat Islam memiliki sifat jujur dan menjauhi sifat pembohong. Sebab, Islam tidak akan tumbuh dan berdiri kokoh dalam pribadi yang tidak jujur.
Kita baca sejarah pribadi besar Nabi Muhammad SAW, selama 40 tahun beliau menjadi pribadi yang jujur lebih dulu, hingga digelari Al-Amin, baru kemudian diangkat menjadi utusan Allah untuk mengajarkan Islam kepada umat manusia. Sabda Rasulullah, ''Berpegang-teguhlah dengan kebiasaan berkata benar. Sesungguhnya berkata benar mengantarkan kepada kebaikan, dan kebaikan akan mengantarkan ke surga. Seseorang yang selalu berkata benar, maka ia akan ditulis di sisi Allah sebagai orang yang benar. Dan, jauhilah kebohongan. Sesungguhnya kebohongan mengantarkan kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan ke neraka. Seseorang yang biasa berbohong, maka ia akan ditulis di sisi Allah sebagai pembohong.'' (HR Bukhari-Muslim).
Bohong dengan kata atau perbuatan merupakan salah satu tanda-tanda nifaq (kemunafikan). Islam memandang kebohongan adalah induk dari berbagai dosa dan kerusakan dalam masyarakat. Krisis multidimensi yang melanda negara kita bermuara pada krisis akhlak. Salah satu bentuk krisis akhlak yang berdampak luas ialah krisis kejujuran. Krisis kejujuran menyuburkan praktik korupsi yang menggerogoti sendi-sendi kebangsaan. Karena kepandaian membohongi dan membuat lingkaran kebohongan, maka sebagian besar perbuatan korupsi, kolusi, suap, dan pungli sulit pembuktiannya. Kebohongan dapat membuat campur aduknya hal yang haq dan yang bathil. Sesuatu yang bathil seolah tampak sebagai kebenaran karena kepandaian membuat rekayasa dan kamuflase.
Upaya memberantas korupsi, kolusi, suap, dan pungli takkan membawa hasil yang berarti tanpa diikuti kejujuran dalam penegakan hukum. Jika mau membersihkan moral birokrasi kita, maka yang pertama harus dilakukan ialah membangun kultur kejujuran, hingga setiap orang merasa malu melakukan kebohongan apa pun. Mari kita tegakkan kejujuran dan berhenti berbohong. Kejujuran tidak cukup sekadar slogan, tapi harus menjadi karakter dan kultur masyarakat. Sistem pemerintahan yang bersih dan transparan hanya dapat terwujud kalau para pemimpin dan segenap elemen bangsa konsisten dengan prinsip kejujuran. Katakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah.
Ulama besar dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Sayid Sabiq (almarhum) ketika menukilkan hadis ini dalam bukunya Islamuna menjelaskan bahwa iman dan kebiasaan bohong tidak bisa berkumpul dalam hati seorang Mukmin. Rasulullah SAW berwasiat agar umat Islam memiliki sifat jujur dan menjauhi sifat pembohong. Sebab, Islam tidak akan tumbuh dan berdiri kokoh dalam pribadi yang tidak jujur.
Kita baca sejarah pribadi besar Nabi Muhammad SAW, selama 40 tahun beliau menjadi pribadi yang jujur lebih dulu, hingga digelari Al-Amin, baru kemudian diangkat menjadi utusan Allah untuk mengajarkan Islam kepada umat manusia. Sabda Rasulullah, ''Berpegang-teguhlah dengan kebiasaan berkata benar. Sesungguhnya berkata benar mengantarkan kepada kebaikan, dan kebaikan akan mengantarkan ke surga. Seseorang yang selalu berkata benar, maka ia akan ditulis di sisi Allah sebagai orang yang benar. Dan, jauhilah kebohongan. Sesungguhnya kebohongan mengantarkan kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan ke neraka. Seseorang yang biasa berbohong, maka ia akan ditulis di sisi Allah sebagai pembohong.'' (HR Bukhari-Muslim).
Bohong dengan kata atau perbuatan merupakan salah satu tanda-tanda nifaq (kemunafikan). Islam memandang kebohongan adalah induk dari berbagai dosa dan kerusakan dalam masyarakat. Krisis multidimensi yang melanda negara kita bermuara pada krisis akhlak. Salah satu bentuk krisis akhlak yang berdampak luas ialah krisis kejujuran. Krisis kejujuran menyuburkan praktik korupsi yang menggerogoti sendi-sendi kebangsaan. Karena kepandaian membohongi dan membuat lingkaran kebohongan, maka sebagian besar perbuatan korupsi, kolusi, suap, dan pungli sulit pembuktiannya. Kebohongan dapat membuat campur aduknya hal yang haq dan yang bathil. Sesuatu yang bathil seolah tampak sebagai kebenaran karena kepandaian membuat rekayasa dan kamuflase.
Upaya memberantas korupsi, kolusi, suap, dan pungli takkan membawa hasil yang berarti tanpa diikuti kejujuran dalam penegakan hukum. Jika mau membersihkan moral birokrasi kita, maka yang pertama harus dilakukan ialah membangun kultur kejujuran, hingga setiap orang merasa malu melakukan kebohongan apa pun. Mari kita tegakkan kejujuran dan berhenti berbohong. Kejujuran tidak cukup sekadar slogan, tapi harus menjadi karakter dan kultur masyarakat. Sistem pemerintahan yang bersih dan transparan hanya dapat terwujud kalau para pemimpin dan segenap elemen bangsa konsisten dengan prinsip kejujuran. Katakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah.
terlau banyak kebohongan untuk menghalalkan kesalahan yang kita perbuat
BalasHapus